Search This Blog

Saturday, April 29, 2006

RUU APP 3

Dari milis http://groups.yahoo.com/group/perempuan

“BERLINDUNG DI BALIK RUU ANTI PORNOGRAFI DAN ANTI PORNOAKSI” Oleh Sarah Seena, SH, MH Kontroversi RUU Anti Pornografi dan Pronoaksi (RUU APP) terus bergulir antara pihak yang pro dengan pihak yang kontra. Namun, jika diamati dengan seksama maka akan terlihat bahwa mayoritas pendukung RUU APP untuk disahkan adalah laki-laki, sedangkan mayoritas yang menolak RUU APP untuk disahkan adalah perempuan. Secara tidak langsung kontroversi ini menunjukkan adanya “perang berbasis gender” antara kaum pria dengan kaum wanita.

Perang berbasis jender ini disebabkan adanya ketimpangan relasi jender antara perempuan dengan lelaki. Ketimpangan hubungan karena adanya cara pandang yang bersifat” biner patriakhis”/ berpihak kepada laki-laki. Menurut Kamla Bhasin, pada sebagian besar masyarakat, relasi jender memiliki sifat dasar patriakal, dimana relasi ini mengikuti aturan-aturan patriaki, yakni sebuah ideologi dan sistem sosial dimana laki-laki dianggap superior dalam kehidupan perempuan, dominan, dan mengendalikan hampir semua sumber-sumber penghasilan dan institusi sosial.

Aturan main yang sengaja diterapkan dalam sistem patraiki adalah memosisikan laki-laki yang dianggap lebih dewasa sebagai Sang Diri (the self) yang memiliki otoritas kebenaran, sedangkan kaum perempuan dan pria yang lebih muda merupakan profil yang ditempatkan sebagai Sang Lain (the other) yang harus tunduk dan patuh. Relasi yang terjadi meemperlihatkan kekuasaan dan ideologi yang berjalan secara massif, dimana laki-laki dianggap sebagai sebuah sosok yang powerful sedangkan perempuan dianggap sebagai sosok yang powerless atau tidak berdaya.

Hal ini memberikan implikasi besar, patriaki memberikan hukum yang tetap bahwa laki-laki merupakan subyek yang menentukan dalam sebuah hubungan kekuasaan antara laki-laki dengan perempuan. Aturan main tersebut merupakan politik patriakis sebai politik yang dikuasai dan mewakili kepentingan laki-laki. Penyelesaian masalah yang menyangkut relasi jender dilakukan dengan cara=cara yang maskulin, dengan menonjolkan keberanian dan pembuktian kemenangan seperti perang atau “pengusiran secara paksa”, Menurut Luh Ayu Saraswati, “politik patriakhis “ secara tidak langsung telah membangun kondisi yang kondusif dalam mendorong munculnya kekerasan terhadap perempuan.

Politik Patrkhis ini dalam terlihat dalam muatan RUU APP. Muatan tersebut tidak hanya mengatur masalah pornografi tetapi juga pornoaksi, dimana dilarang bagi setiap orang dewasa, untuk mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sesual antara lain : alat kelamin, PAHA, PINGGUL, PANTAT, PUSAR, dan PAYUDARA perempuan baik terlihat sebagian maupun seluruhnya (Pasal 25). RUU ini secara langsung memasuki wilayah privat perempuan dimana hak otonomi perempuan atas tubuhnya hendak dihapuskan oleh RUU APP ini. Pengaturan mengenai pornoaksi ini berawal dari paradigma kaum patriaki yang menganggap cara berpakaian perempuanlah yang menyebabkan laki-laki menjadi gelap mata sehingga menimbulkan kejahatan terhadap perempuan tersebut. Kasus perkosaan terhadap perempuan menjadi salah satu contoh nyata betapa hokum telah bersikap bias jender terhadap perempuan.

Hukum memandang bahwa perkosaan yang terjadi terhadap perempuan, disebabkan oleh tingkah laku perempuan sebagai korban yang memakai pakaian yang memancing nafsu kaum patriaki. Auran main patriaki menetapkan bahwa perempuan sebagai pihak yang “salah” meskipun dia adalah korban bukan si “pelaku” yang melakukan kejahatan perkosaan tersebut. Oleh karena itu, dalam rangka melindungi perempuan demi keselamatannya, maka diperlukan sebuah undang-undang yang mengatur mengenai cara berpakaian perempuan.

Politik patriakhis tidak mau melihat kenyataan bahwa kaum patriakhi adalah kaum yang lemah bukan kaum yang kuat seperti yang sering digembar-gemborkan. Kaum lelaki mempunyai kelemahan dalam mengontrol emosi dan nafsu yang ada dalam dirinya sendiri. Kelemahan ini dapat diamati dengan fakta dilapangan bahwa hampir sebagaian besar konsumen VCD dan majalah porno adalah lelaki bukan perempuan. Mereka ketagihan dengan hal-hal yang berbau porno sama besarnya seperti ketagihan mereka akan rokok ataupun narkoba. Dimana semakin dilarang, semakin dilakukan. Karena mereka tidak bisa menghentikan ketagihannya tersebut. Mereka bisa memperoleh hal-hal yang berbau prono karena tidak dilarang peredarannya dalam dunia maya alias internet. Mereka bisa saja menyuarakan dengan lantang anti pornografi dan pornoaksi sementara diam-diam mereka menikmati pornografi dan pornoaksi lewat dunia maya alias internet tanpa ada suatu peraturan perundang-undangan pun yang dapat mencegahnya. Banyakpria beristeri yang mempunyai kelainan akibat ketagihan VCD porno tersebut, dimana mereka baru bisa berhubungan dengan isterinya setelah menonton VCD porno itu. Faktanya kaum patriaki yang merasa berhak menentukan kehidupan perempuan “lebih bejat” dari perempuan itu sendiri.

Ancaman yang dilakukan oleh Forum Betawi Rempug terhadap Inul Darastita menunjukkan “sikap munafik” dari kaum patriaki terbadap Inul. Mereka menyukai goyang ngebor inul tetapi mereka marah karena Inul ikut demo anti pornografi dan pornoaksi. Ini jelas merupakan egoisme kaum patriaki yang menolak untuk jujur terhadap dirinya sendiri bahwa mereka lemah dalam mengendalikan emosi mereka terhadap hawa nafsu mereka dalam memandang perempuan. Kelemahan ini juga dapat diamati dalam kehidupan kaum pria beristeri. Para pria beristeri yang melakukan “poligami” walaupun isterinya menutupi seluruh auratnya dan memberikannya keturunan, jelas menunjukkan kelemahan pria tersebut dalam mengendalikan nafsunya terhadap perempuan. Dalam konteks “poligami” ini dapat dilihat bahwa perempuan bukanlah penggoda laki-laki dengan cara berpakaian namun laki-laki tersebut yang memilki masalah dengan dirinya. Dimana “emosi dan nafsu syahwat laki-laki” tidak bisa terkontrol dalam memandang perempuan.Ironisnya, ketika hal itu dipermasalahkan mereka menggunakan dalil agama untuk menutupi kelemahannya dengan mengumandangkan surat suci Al-qur’an.

Kaum lelaki tersebut mengatakan bahwa poligami yang dilakukannya adalah sunah rasul. Padahal sebenarnya mereka melakukannya karena mereka tidak bisa menutupi kelemahannya sendiri tidak pernah merasa puas dengan hanya seorang perempuan. Karena, jika berbicara agama maka harus diingat bahwa nabi Muhamamad SAW tidak pernah menduakan isteri pertamanya yakni Siti Khadijah semasa isterinya tersebut hidup. Nabi baru menikah lagi setelah isteri pertamanya tersebut meninggal dunia. Hal ini sungguh sangat mengharukan betapa setianya nabi Muhammad SAW kepada isterinya Siti Khadijah walaupun usia mereka terpaut jauh 15 tahun, dimana Siti Khadijah lebih tua daripada nabi Muhammad SAW. Seharusnya sebagai lelaki yang dipandang masyarakat dia bisa menikah lagi karena bisa mencukupi anak dan isterinya. Namun nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukanya sampai Siti Khadijah meninggal dunia.

Allah SWT memerintahkan nabi Muhammad SAW untuk menikah lagi agar tidak larut dalam kesedihan setelah kematian isterinya Siti Khadijah. Perintah ini diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad karena dia harus menyebarkan agama Islam pada masa itu. Tugas Nabi Muhammad tidak dapat terlaksana apabila beliau terus larut dalam kesedihan. Untuk itulah, Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menikah lagi. Tujuan pernikahan semata-mata dalam rangka penyebaran agama Islam bukan untuk hal yang lainnya. Akan tetapi, tarekh atau sejarah Islam ini seakan-akan ditempiaskan oleh kaum patriaki di Indonesia. Mereka menggunakan dalil agama untuk menjadikan perempuan sebagai perempuan yang lemah.

Perempuan dijadikan kambing hitam oleh laki-laki bahwa merekalah yang menyebabkan lelaki menjadi “gelap mata”, sehingga tak jarang para lelaki tega meninggalkan anak dan isterinya hanya demi seorang perempuan lain yang dianggap lebih bisa mewarnai kehidupannya yang mulai terasa bosan dengan rutinas sehari-hari sebagai kepala rumah tangga. Tidak ada yang pernah menyangka bahwa lelaki itu sendiri yang bermasalah dengan dirinya, karena tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dimilikinya.

Banyak pria beristri di Indonesia yang status perkawinannya dalam Kartu tanda penduduk masih menyatakan diri sebagai “bujang”. Kartu tanda penduduk inilah yang menjadi senjata mereka untuk menikah lagi, tanpa sepengetahuan isterinya. Mereka ini adalah termasuk kelompok yang cerdas dan licik. Mereka mengetahui bahwa Pasal 3 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa poligami diperboleh-kan apabila mendapatkan izin dari isteri pertama. Pasal itu hanya dapat digunakan oleh mereka, apabila status dalam kartu tanda penduduk yang mereka miliki menyatakan bahwa mereka telah menikah. Namun hal itu hanya membuat mereka merasa repot apabila akan menikah lagi. Untuk mengantisipasi hal itu, mereka membuat/memperpanjang kartu tanda penduduk dengan status “bujang” tanpa sepengetahuan isterinya. Kartu inilah yang menjadi alat mereka untuk menikah lagi tanpa seizin isteri pertama.

Jikalau melihat kepada cerita tersebut, maka jelas dapat dikatakan bahwa pria beristeri tersebut telah melakukan suatu tindak kejahatan. Dimana salah satu unsur delik adalah adanya niat. Dalam hal ini pria beristeri tersebut mempunyai niat untuk menyembunyikan identitas dirinya yang asli, bahwa ia adalah pria yang sudah menikah. Sebenarnya menurut ketentuan Pasal 279 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana perbuatan tersebut dapat dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Secara jelasnya pasal ini berbunyi :“Barangsiapa mengadakan perkawinan dengan menyembunyikan bahwa perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah”, diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal ini kemudian dipertegas oleh Pasal 280 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa : “Barangsiapa yang mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahu kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang sah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut, perkawinan lalu dinyatakan tidak sah. Pasal ini dapat ditafsirkan bahwa orang yang sengaja tidak memberitahukan kepada pasangannya bahwa dia sudah pernah nikah kemudian ketahuan oleh isteri pertama yang meminta pembatalan atas pernikahan tersebut, maka sang suami diancam dengan pidana paling lama 5 tahun penjara.

Kuatnya aturan main politik patriakis dibumi Indonesia, menyebabkan kedua pasal ini tidak pernah diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan adanya pembenaran terhadap perkawinan lebih dari seorang isteri yang notabene pembenaran ini bertolak belakang dengan pengaturan yang ada pada kedua pasal ini. Ironisnya, ketika isteri yang berselingkuh dan ketahuan oleh pihak suami, maka aparat penegak hukum dengan serta menjerat sang isteri ke jeruji dengan mengacu kepada pasal 284 ayat 1 butir b yang menyatakan bahwa : “ seorang wanita yang telah kain yang melakukan gendak (overspel) padahal berlaku pasal 27 BW baginya akan diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan. Sebenarnya pasal 284 ayat 1 butir a juga mengatur hal yang sama untuk laki-laki, namun karena aturan patriaki membenarkan adanya poligami maka hal itu tidak pernah dianggap sebagai sebuah “ pelanggaran hukum”. Razia Kartu Tanda Penduduk yang dilakukan oleh Pemda harusnya tidak hanya melihat “warga” atau bukan “warga” yang menetap dalam suatu daerah, tetapi juga bisa menjaring pemalsuan identitas yang dilakukan oleh para pria hidung belang dengan oknum pemerintahan daerah setempat. Pengawasan terhadap pemalsuan identitas kartu tanda penduduk penting karena kartu ini termasuk akta otentik menurut hokum. Dimana dalam pasal 286 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatakan bahwa : “Barang siapa menyuruh mamsukan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dnegan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Menurut pasal ini, seharusnya keterangan telah menikah tersebut dimasukkan kartu tanda penduduk karena memang benar lelaki tersebut telah menikah, namun karena kelicikannya lelaki tersebut bekerja sama dengan oknum pemerintah daerah memalsukan kebenaran telah menikah menjadi bujangan. Perbuatan ini seharusnya dapat diancam pidana penjara. Namun sayangnya lagi-lagi peraturan tinggalah peraturan. Beberapa pasal yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bagaikan macan ompong yang tidak ada taringnya. Semua karena hokum dibuat oleh kaum lelaki yang mengingkan kepentingannya terlindungi. Berdasarkan semua penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok yang mendukung RUU APP untuk disahkan karena mereka ingin berlindung dibalik RUU APP itu guna menutupi kelemahannya dalam mengontrol emosi dan nafsu syahwatnya dalam memandang perempuan. Namun demikian, hal ini tidak boleh dibiarkan oleh perempuan karena hanya akan semakin memperbesar peluang kaum lelaki dalam melakukan penindasan terhadap kaum perempuan dari seluruh aspek kehidupan. Untuk itu, maka kaum perempuan perlu menyatukan irama, gerak dan langkah guna melawan kekerasan yang memakai cara-cara maskulin terhadap pelanggaran hak perempuan atas otonomi tubuh perempuan. Bangkitlah kaum perempuan dari penindasan kaum patriaki ………….!!!!!!!!

1 comment:

Anonymous said...

Wah, ke mana aja nih blogger nya? Sedang hibernasi atau sedang liburan nih? Kapan tulisannya muncul lagi?