“A place without social discrimination would be utopia.”
Kalimat di atas merupakan salah satu pernyataan dalam artikel yang berjudul “Being a Chinese-Indonesian” yang dimuat The Jakarta Post tanggal 13 Juni 2006 halaman 6. Sang penulis artikel adalah seorang laki-laki etnis Cina yang menikahi seorang perempuan pribumi.
Diskriminasi sosial terjadi dimana-mana dalam banyak bentuk; misal diskriminasi terhadap orang-orang beretnis Cina di Indonesia, dan diskriminasi terhadap orang-orang berkulit hitam di Amerika.
Bebeapa minggu yang lalu aku membaca sebuah artikel yang berisikan wawancara dengan seorang laki-laki beretnis Cina di salah satu tabloid lokal. Dia berharap bahwa di masa depan tak ada lagi perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang beretnis Cina; misal mereka bisa menjadi pegawai negeri, tak ada lagi proses yang berbelit-belit untuk memiliki sebuah KTP, dll. Artikel tersebut memang khusus difokuskan pada diskriminasi sosial terhadap orang-orang beretnis Cina di Indonesia. Sang narasumber yang diwawancara seolah-olah menutup mata bahwa ada banyak perusahaan milik orang-orang beretnis Cina di Indonesia yang memperlakukan pegawai-pegawainya yang non Cina secara diskriminatif. Dan si jurnalis pun seolah-olah melupakan adanya perlakuan diskriminatif balik terhadap orang-orang non Cina.
Namun, di dalam artikelnya yang berjudul “Being a Chinese Indonesian”, Wijanto Hadipuro menggambarkan hal tersebut. Dia menulis bahwa istrinya mendapatkan perlakuan yang diskriminatif di tempat kerjan; misal dia mendapatkan gaji yang lebih rendah dibandingkan teman kerjanya yang beretnis Cina meskipun istrinya bekerja lebih lama dan memiliki posisi manajerial yang sama.
Hal ini mengingatkanku satu makalah yang dipresentasikan oleh seorang teman kuliah dengan topik yang sama: diskriminasi sosial yang diperlakukan terhadap orang-orang beretnis Cina di Indonesia. Teman kuliahku ini kebetulan memiliki kulit berwarna kuning langsat dan mata sipit, dua karakteristik yang biasa diasosiasikan milik orang-orang beretnis Cina meksipun dia tidak memiliki darah keturunan Cina. Kebetulan pula dia bekerja di sebuah instansi dimana banyak orang-orang beretnis Cina bekerja di sana. Dalam makalahnya dia menyampaikan perlakuan diskriminatif terhadap rekan-rekan kerjanya yang beretnis Cina, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah Indonesia, sementara mungkin mereka merupakan generasi kelima atau lebih yang lahir asli di Indonesia.
Saat mendengarkan presentasinya, Julie dan aku mendiskusikan perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh orang-orang beretnis Cina kepada kaum pribumi. Adik Julie menerima gaji yang lebih rendah daripada rekan kerjanya yang beretnis Cina karena kebetulan dia bekerja di perusahaan milik seseorang beretnis Cina; bagaimana mereka memperlakukan PRT (pekerja rumah tangganya) yang kebanyakan kaum pribumi dengan buruk, meskipun tidak semua, terkadang sama buruknya dengan perlakuan kaum kulit putih terhadap budak-budak mereka yang berkulit hitam di zaman perbudakan di Amerika.
Sekitar tahun 1994-2000 aku bekerja di sebuah perusahaan milik seorang pribumi beragama Islam. Ketika aku pertama kali diterima, aku mendengar selentingan bahwa perusahaan mempunyai kebijakan hanya menerima pegawai yang beragama Islam saja. Namun kenyataannya aku mendapati dua orang rekan kerja yang beragama non Islam, dan aku bisa melihat dengan jelas betapa tidak nyamannya mereka tatkala ada pertemuan, misalnya berbuka bersama di bulan Ramadhan. Demikian juga sebaliknya, aku sering mendengar perusahaan swasta milik seorang non Islam yang hanya mempekerjakan orang-orang non Islam. Seandainya kebetulan ada orang Islam yang bekerja di sana, dia tidak akan memperoleh waktu untuk melakukan kegiatan ritual keagamaannya, misal shalat di jam-jam kerja. Bahkan mereka pun diwajibkan untuk mengikuti ritual keagamaan agama si pemilik perusahaan, misal menghadiri misa tertentu.
Betapa aku menginginkan perlakuan diskriminatif ini berakhir. Aku pun berharap masyarakat menghormati anggota masyarakat lain sebagai sesama manusia, meskipun berbeda agama, berbeda warna kulit, juga berbeda etnik, apalagi hanya berbeda jenis kelamin.
“Treat other people just like how you want other people to treat you.”
PT56 09.20 290607
P.S.: artikel asli kuberi judul “Utopia” kutulis pada tanggal 15 Juni 2006
No comments:
Post a Comment