Apa yang kamu ketahui tentang ideologi feminisme?
Feminisme tidak bisa didefinisikan hanya dalam satu kata maupun satu kalimat. Menurutku sendiri, menggunakan kata-kataku sendiri, setelah sejak tahun 2003 membentuk diri menjadi seorang feminis, pada dasarnya feminisme merupakan satu ideologi yang memberdayakan perempuan, perempuan pun bisa menjadi subjek dalam segala bidang, menggunakan pengalamannya sebagai perempuan, menggunakan perspektif perempuan yang lepas dari mainstream kultur patriarki yang selalu beranjak dari sudut pandang laki-laki.
Feminisme sendiri berkembang dan mengalami beberapa fase dan tingkatan. Maka tidak mengherankan jika feminisme pun memiliki sifat yang jamak. Kaum perempuan sedunia kemudian dapat memilah dan memilih sudut pandang feminisme yang sesuai dengan pengalamannya sebagai perempuan. Feminisme merupakan suatu ilmu yang selalu berkembang dan tidak mandeg, sehingga tidak ada yang salah dalam ilmu ini, selama suara kaum perempuan didengar sebagai titik tolak pengamatan suatu permasalahan/pengalaman.
Dalam artikel ini, aku akan memberi sedikit gambaran mengenai jenis-jenis aliran feminisme yang telah muncul.
FEMINISME LIBERAL.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
FEMINISME RADIKAL
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
FEMINISME MARXIS
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
FEMINISME SOSIALIS
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
FEMINISME POSKOLONIAL
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama.
Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
Oleh teman-teman terdekatku, aku dijuluki sebagai feminis radikal. Aku setuju karena memang aku berubah secara radikal—dari Nana si konvensional menjadi Nana si feminis yang mengikuti teori posmodern banget, pengikut Jacques Derrida dengan teori dekonstruksinya, yang ingin menjungkirbalikkan segala hal yang konon sudah established, terutama yang berkenaan dengan kehidupan perempuan.
Menilik jenis-jenis feminisme yang kukemukakan di atas, memang aku bisa masuk ke jenis feminis radikal, yang percaya bahwa segala penindasan yang terjadi kepada kaum perempuan dikarenakan kultur patriarki yang telah menghegemoni sekian abad. Tubuh perempuan yang berbeda dari laki-laki—sementara cara pandang dalam segala hal di dunia ini selalu berangkat dari kacamata laki-laki—membuat perempuan menjadi sasaran empuk untuk penindasan. Misal: pemaksaan adanya RUU APP, bahwa perempuan harus dipenjarakan di balik rok panjangnya karena tubuhnya yang di mata laki-laki selalu mengundang untuk menyentuh, dan seterusnya.
Namun, aku juga bisa memasukkan diriku sebagai seorang feminis liberal yang percaya bahwa perempuan sama baiknya, sama berkualitasnya dengan laki-laki. Sayangnya hal ini belum banyak diterima oleh masyarakat, bahkan oleh kaum perempuan itu sendiri. Sehingga, untuk memberi kesempatan kaum perempuan berkiprah di bidang politik—yang selalu dipandang sebagai ranah maskulin—perempuan berhak diberi affirmative action, seperti di pertengahan abad ke-20 pemerintah Amerika memberi affirmative action ini kepada kaum African American. Kalau memang cara inilah yang akan mengangkat kaum perempuan di bidang politik, why not?
Aku juga setuju dengan feminis Marxis yang memandang relasi laki-laki perempuan seperti relasi kelas si kapitalis dan si pekerja. Untuk menyamakan kedudukan perempuan dengan laki-laki, perempuan harus bekerja, karena si empunya uanglah yang memiliki hak untuk menentukan sesuatu. Betapa selama ini, kebanyakan orang selalu memandang laki-laki sebagai the decision maker dan perempuan sebagai penjalan keputusan itu; terutama dalam institusi keluarga.
Sebagai seseorang yang hidup di sebuah negara yang pernah dijajah oleh negara yang kebanyakan penduduknya berkulit putih, sehingga secara tidak sadar orang-orang berkulit warna menganggap orang yang berkulit putih memiliki kuasa lebih tinggi daripada si kulit berwarna, tentu saja aku sangat setuju dengan Feminisme Poskolonial. Bahkan setelah Indonesia merdeka selama lebih dari setengah abad, pandangan bahwa yang berkulit putih tentu lebih menarik dibanding yang berkulit berwarna masih tetap saja ada. Hal ini dikuatkan dengan adanya iklan-iklan di televisi maupun majalah/koran, bahwa cantik itu putih.
In conclusion, meskipun banyak aliran dalam feminisme, belum tentu kita bisa mengacu seorang feminis sepertiku ini hanya mengikuti satu aliran saja. Ideologi feminisme bersifat dinamis yang akan selalu bergerak dan mengikuti perkembangan zaman, demi kebangkitan kaum perempuan dalam kultus yang masih tetap saja male-dominated.
PT56 12.03 231206